Dalam proses homeschooling, yang belajar bukan hanya anak-anak, tetapi juga orangtuanya. Kualitas pembelajaran menjadi luar biasa saat anak melihat contoh dari orangtuanya. Semua praktisi homeschooling sangat faham tentang hal itu.
Kami pun belajar dan berusaha menerapkan hal itu.
Untuk mengajarkan anak-anak lentur bersikap dan senang belajar apapun, saat ini aku “bereksperimen” dengan diriku.
Caranya?
Aku mencoba belajar grafis dan memasak! 🙂

Belajar Melenturkan Diri
Diantara hal-hal yang tak kusukai dan tak kukuasai adalah pekerjaan teknis dan seni. Selama umur yang sudah lebih dari 40 tahun ini, sebagian besar aktivitasku di dunia konseptual, baik saat belajar maupun saat bekerja.
Secara pribadi, aku tahu itu. Aku nyaman dan merasa kuat di area konseptual dan di situlah aku terus mengasah dan memperkuatnya.
Tapi hidup bukan hanya perihal mengasah kekuatan. Hidup juga banyak berisi kekuatan untuk melenturkan diri menghadapi berbagai peristiwa yang ada dalam hidup kita. Jika kita kaku, maka hati dan hidup kita akan mudah patah.
Nah, dalam rangka mengasah kelenturan hati dan meningkatkan keterampilan, beberapa hari terakhir ini aku belajar membuat quote untuk Rumah Inspirasi. Kelihatannya bagi sebagian orang ini adalah hal yang sepele, tapi tidak buatku. Banyak aspek teknikal yang tidak aku kuasai dan itu menuntutku membuka diri untuk proses belajar dengan bertanya dan diajari Lala dan Yudhis. Hasil belajarku bisa dilihat di: Quote Homeschooling & Parenting.
Hal kedua yang sedang aku pelajari adalah mengerjakan urusan dapur alias belajar memasak, lengkap mulai persiapan, memasak, menyajikan, hingga membereskan usai memasak. Kebetulan ada kondisi yang memicu untuk belajar memasak, yaitu Lala mulai sering “ngantor” keluar rumah untuk urusan bisnis yang baru kami rintis. Untuk proses belajar memasak ini, partner belajarku adalah Tata yang menjadi asisten sekaligus teman diskusiku.
Proses Belajar Bersama
Buatku ini proses yang menarik. Kami sekeluarga menjalani proses belajar bersama, walaupun sebenarnya yang belajar adalah aku.
Lala berusaha mentransfer ilmu memasak dan gratis padaku. Yudhis menjadi guru teknis grafisku. Tata juga belajar memasak bersamaku. Dan tentu saja, aku sendiri harus belajar melapangkan hati dan membuat tanganku yang kaku ini menjadi lebih terampil.
Proses ini kami bahaskan bersama anak-anak. Walaupun proses ini masih awal, aku ingin anak-anak tahu bahwa orangtua-nya pun terus belajar. Mereka juga melihat bahwa belajar itu bukan hanya perihal penguasaan teknis, tetapi juga merupakan olah hati dan sikap. Dampak belajar pun bukan hanya pada penguasaan materi yang dipelajari, tapi juga pada kehidupan keseharian.
Hati lapang, sikap lentur, pikiran terbuka, tangan semakin terampil, dan konsistensi belajar terjaga. Itulah pelajaran besar tentang kehidupan yang ingin aku bagi bersama anak-anak melalui proses ini.
2 thoughts on “Belajar keluar dari comfort zone”
Keren istilahnya pa Aar, kamipun lagi dapet pelatihan ini dari Allah, dapet mantu yg budayanya beda banget dan kita ngga bisa keukeuh dg segala keinginan dan kebiasaan kita.
Suka banget dg paragraf akhir tulisan ini…makasih pa Aar.
Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak mbak Neneng. Ikut berbahagia dengan keluarga besar baru yang multi-budaya 🙂