fbpx

Belajar itu Menyenangkan

Pada waktu sekolah di SD dulu, kita dulu diajarkan peribahasa “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.” Prinsipnya, kesediaan bersusah payah dan menunda kebahagiaan, demi masa depan yang bahagia.

Prinsip itu sudah seperti menjadi kebenaran umum, yang menginspirasi kita bekerja keras dan rela mengerjakan hal-hal yang tak membahagiakan, demi masa depan yang lebih baik.

Pertanyaannya, mungkinkah kita melihat kebahagiaan dengan cara lain? Bisakah kita menggapai kebahagiaan di masa datang dan prosesnya tetap membahagiakan? Dalam konteks pendidikan anak, bisakah keberhasilan pendidikan anak diperoleh dengan cara menyenangkan dalam proses belajarnya?

Aku percaya itu bisa.

Kebahagiaan adalah sikap hati
Walaupun kondisi eksternal sangat mempengaruhi diri, sesungguhnya kebahagiaan adalah buah dari sikap hati kita. Peristiwa yang sama bisa memiliki makna dan rasa hati yang berbeda. Masalah dapat menjadi inspirasi kelapangan hati (positif), kemenangan bisa menjadi sumber ketidakpuasan (negatif).

Itulah sebabnya, spiritualitas di dalam agama apapun selalu menempatkan kelapangan hati (ikhlas) dan rasa terima kasih (syukur) sebagai pondasi kehidupan yang bahagia. Sebab, kebahagiaan itu perkara hati, bukan materi dan hal-hal eksternal.

Jadi, sebenarnya kebahagiaan itu lebih merupakan tanggung jawab pribadi kita. Itulah sebabnya, penting untuk membangun keikhlasan dan syukur sebagai pondasi kehidupan kita dan anak-anak kita agar kehidupan kita (dan mereka) selalu penuh kebahagiaan.

Kebahagiaan adalah proses sekaligus hasil
Kalau kita menunda kebahagiaan di dalam proses yang kita jalani, kemungkinan besar pada saat berhasil kita tetap tak akan bahagia. Sebab, kebahagiaan yang sifatnya eksternal itu sebenarnya bersifat ilusi. Mungkin kita merasakan kenikmatan, tetapi kenikmatan itu diliputi oleh ketakutan kita akan kehilangan faktor eksternal tersebut.

Jadi, kita tak perlu menunda kebahagiaan. Kita bisa berbahagia sekarang, apapun kondisi eksternal yang kita alami. Kalau anak-anak tertekan dalam proses belajar, berarti ada sebuah hal yang salah. Mungkin materinya tidak membahagiakan, bisa juga anak tidak menemukan sudut pandang yang benar dalam pembelajarannya.

Belajar itu menyenangkan
Filosofi berakit-rakit ke hulu memberikan dorongan kita untuk bekerja keras. Itu adalah tuntunan yang benar. Sekarang tinggal menambahkan bahwa bekerja keras itu bukan sebuah hal yang menyakitkan. Belajar itu bukan merupakan beban, tetapi sebuah kebahagiaan karena ada kepuasan dan imbalan intrinsik di dalam proses itu.

Bagaimana membuat kerja keras dan belajar itu menjadi sebuah kesenangan dan kebahagiaan? Itulah tantangan kita sebagai orangtua/guru. Ada tentang materi, metode, sudut pandang, dan lain-lainnya.

**

Kalau boleh menambahkan peribahasa “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”, aku ingin melengkapinya dengan peribahasa baru: “Ke pasar beli arang, kembali bawa udang. Belajar dengan riang, berhasil tanpa curang.”

2 thoughts on “Belajar itu Menyenangkan”

  1. Kenangan masa kecil tentang belajar itu sangat berpengaruh sampai tua. Soalnya saya lihat banyak orang-orang tua di Indonesia yang tidak suka membaca, tidak suka belajar, dengan alasan sudah tua. Padahal di Jepang saya lihat orang-orang lansia yang sangat semangat belajar hal-hal baru (komputer, bahasa asing, dsb.). Saya pikir kalau kita dari awal sudah mempunyai kenangan bahwa belajar itu menyakitkan, kita tidak akan melakukannya lagi setelah lepas dari keterpaksaan belajar (baca: lulus sekolah).

  2. Terimakasih mas Aar, saya tertegun dengan kalimat

    “Itulah sebabnya, penting untuk membangun keikhlasan dan syukur sebagai pondasi kehidupan kita dan anak-anak kita agar kehidupan kita (dan mereka) selalu penuh kebahagiaan.”

    semoga kita bisa menghembuskan dalam setiap dlm kehidupan kita ya mas…

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.