fbpx

Beberapa Gagasan tentang Ujian Kesetaraan

Berikut ini beberapa gagasan tentang kebijakan Ujian Kesetaraan dari sudut pandang kami sebagai keluarga praktisi homeschooling. Jika Anda merasa masukan ini bermanfaat, mohon bantuan untuk meneruskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Karena tulisan ini cukup panjang, Anda dapat mengunduh versi PDF di bawah ini:

Download

 

LATAR BELAKANG

Sebagai praktisi homeschooling, kami cukup lama memperhatikan pola dan proses Ujian Kesetaraan, baik yang tertulis maupun yang berlangsung di lapangan. Dua anak kami sudah mengalami proses Ujian Paket. Yudhistira menjalani Ujian Paket A (2013) & Paket B (2016), Tata menyelesaikan Ujian Paket A (2017).

Dari proses yang terjadi di lapangan dan membaca aneka peraturan tertulis mengenai Ujian Kesetaraan, menjelang akhir 2017 ini kami ingin membuat beberapa catatan pribadi.

Catatan ini dimaksudkan sebagai bahan diskusi sekaligus umpan balik bagi para pengambil kebijakan untuk meningkatkan kualitas Ujian Kesetaraan. Dalam konteks yang lebih khusus, kami berhadap proses Ujian Kesetaraan semakin selaras dengan praktik-praktik pembelajaran yang dijalani oleh keluarga-keluarga homeschooling.

PELUANG PENDIDIKAN NONFORMAL & INFORMAL

Secara legal, keberadaan jalur pendidikan nonformal dan informal diakui oleh UU no 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

Saat ini, jalur pendidikan informal & nonformal masih belum mendapatkan tempat strategis dalam kebijakan pendidikan Indonesia yang sangat berfokus pada jalur pendidikan formal (sekolah). Padahal, jalur pendidikan nonformal & informal memiliki peluang yang sangat besar untuk berkontribusi dalam hal:

a. Peningkatan Akses Pendidikan

Karena tak semua anak terlayani melalui jalur pendidikan formal (sekolah), jalur pendidikan nonformal memiliki kesempatan untuk menjadi sarana meningkatkan akses pendidikan untuk masyarakat. Untuk itu, proses pendidikan nonformal yang lebih fleksibel perlu mengadaptasi keunikan-keunikan yang ada pada segmen masyarakat yang dilayaninya.

b. Laboratorium & Ruang Inovasi Pendidikan

Laporan World Development Report 2018 yang dikeluarkan World Bank dan dikutip Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa Indonesia tertinggal 45 tahun dan 75 tahun di bidang sains dibandingkan negara-negara OECD.

Untuk memperbaiki kondisi ini, diperlukan aneka inovasi pendidikan yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat. Harapan itu tak hanya ditujukan untuk jalur pendidikan formal. Dengan karakteristik yang lebih fleksibel dibandingkan pendidikan formal (sekolah), pendidikan nonformal memiliki ruang yang sangat luas untuk berkontribusi dengan menjadi laboratorium & ruang inovasi pendidikan.

Kuncinya adalah penyediaan lingkungan yang kondusif sehingga membuka kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan inovasi pendidikan kontekstual yang mampu menyelesaikan masalah-masalah riil di lapangan.

Penyediaan lingkungan kondusif itu termasuk mengidentifikasi aturan-aturan restriktif yang menghambat inovasi, fokus pada substansi pendidikan (vis-a-vis administratif), serta memberikan insentif untuk inovasi.

 

CATATAN TENTANG PRAKTEK DI LAPANGAN

Dengan harapan yang besar agar jalur pendidikan nonformal & informal bisa lebih berkontribusi dalam dunia pendidikan Indonesia, ada beberapa catatan yang kami buat berdasarkan pengamatan di lapangan. Para pelaksana PKBM maupun pejabat dinas pendidikan tentu sangat familiar dengan realita-realita ini.

a. Senjang antara kebijakan dan praktek

Terdapat senjang yang sangat lebar antara kebijakan tertulis dan yang terjadi di lapangan. Kesenjangan ini terjadi karena kebijakan yang tertulis sulit diimplementasikan di lapangan. Akibatnya, praktik di lapangan seringkali tak selaras dengan yang tertulis dalam kebijakan yang tertulis. Hal ini menimbulkan kebingungan bagi masyarakat yang menjadi pengguna layanan ini.

b. Syarat Ujian Kesetaraan semakin ketat

Pada era sebelum 2012, praktek untuk mengikuti Ujian Kesetaraan dilakukan dengan mendaftar di PKBM setahun sebelum Ujian Kesetaraan dilangsungkan. Prosesnya relatif sederhana dan anak bisa mengikuti Ujian tahap selanjutnya kapan pun mereka siap.

Aturan ini kemudian diperketat dengan syarat adanya rapor lengkap, pengaturan jarak ujian 3 tahun (tidak ada akselerasi). Tahun 2017 ada syarat peserta Ujian Kesetaraan harus memiliki NISN dan kemudian dilengkapi nilai lengkap setiap semester (nilai ulangan, nilai tugas, nilai UTS, nilai UAS) untuk semua mata pelajaran.

Walaupun aturan tertulis mengenai syarat Ujian Kesetaraan semakin ketat, cukup banyak PKBM yang tidak menerapkannya karena sulit diimplementasikan di lapangan.

Sebagai contoh, syarat rapor lengkap untuk seluruh mata pelajaran & seluruh jenjang sebagaimana yang disyaratkan Permendiknas jarang dijalankan di lapangan. Banyak PKBM yang “membuatkan” rapor lengkap demi agar anak-anak bisa mengikuti Ujian Kesetaraan.

Mengapa aturan rapor & nilai yang ketat itu sulit dijalankan? Karena kondisi siswa PKBM seperti anak jalanan, ART, dan lain-lain yang tidak memungkinkan menjalani model pembelajaran lengkap seperti anak sekolah dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan secara tertulis.

c. Materi Pelajaran & Ujian

Walaupun aturan tentang standar isi pendidikan nonformal seperti yang tertulis dalam Permendiknas No.14/2007 menuliskan kondisi ideal materi pembelajaran yang harus diikuti siswa pendidikan nonformal, pada kenyataannya praktek yang terjadi di lapangan berbeda.

Proses belajar biasanya hanya meliputi materi yang diujikan pada Ujian Kesetaraan. Kondisi ini tak bisa dilepaskan dari karakteristik dan keunikan kondisi peserta didik di jalur pendidikan nonformal. Sulit bagi siswa PKBM yang ingin mengambil ujian Paket C jika harus mempelajari 17 mata pelajaran seperti anak sekolah dan proses seperti anak sekolah. Apalagi ada syarat KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) untuk setiap mata pelajaran.

d. Praktek Curang dalam Ujian

Banyak praktek ujian di lapangan yang belum berkualitas, mulai pemberian jawaban soal pada saat ujian, jaminan kelulusan, hingga praktek mengatrol nilai agar anak lulus Ujian Kesetaraan. Praktik semacam ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan berkaitan dengan kualitas peserta Ujian Kesetaraan.

e. Administrasi ijazah

Hal lain yang perlu ditingkatkan kualitasnya adalah kepastian jadwal yang berkaitan Ujian Kesetaraan, terutama pengumuman ujian dan keluarnya ijazah. Cukup sering pengumuman kelulusan tak sesuai jadwal dan jadwal keluarnya ijazah tidak jelas, padahal siswa memerlukannya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi atau untuk urusan berkaitan pekerjaan.

 

USULAN UJIAN KESETARAAN (PAKET)

Berikut ini beberapa usulan dan masukan kami terkait pelaksanaan Ujian Kesetaraan sebagai salah satu segmen masyarakat yang menggunakan layanan pendidikan ini:

a. Paradigma penyetaraan, bukan persamaan

UU Sisdiknas 20/2003 menggunakan istilah “penyetaraan”, bukan persamaan. Makna penyetaraan menurut KBBI adalah sejajar atau sepadan.

Oleh karena itu, pendidikan nonformal perlu diakui keunikan dan kekhasannya sehingga tidak bisa disamakan dengan pendidikan formal (sekolah). Kebijakan yang berkaitan dengan standar isi dan proses Ujian Kesetaraan juga perlu mempertimbangkan hal itu dengan memberikan ruang fleksibilitas yang lebih luas dibandingkan sekolah.

b. Penyederhanaan Syarat Administrasi Ujian

Dalam rangka memperluas akses pendidikan untuk masyarakat, proses pelaksanaan Ujian Kesetaraan perlu disederhanakan persyaratan dengan syarat administratif (akta lahir/Kartu Keluarga) dan memiliki NISN yang terdaftar dalam sistem Dapodik. Untuk peserta yang belum memiliki NISN, prosesnya dipermudah.

Berkaitan dengan dengan syarat substansi pembelajaran, prosesnya bisa disederhanakan melalui Uji Kompetensi yang diselenggarakan 1 tahun menjelang Ujian Kesetaraan. Uji Kompetensi ini menjadi penyaring kelayakan peserta sekaligus pengganti nilai rapor. Nilai hasil Uji Kompetensi ini bisa diperhitungkan dalam penentuan kelulusan bersama dengan nilai Ujian Kesetaraan.

b. Rapor Semester bersifat Pilihan

Praktek pembuatan rapor semester secara detil seperti sekolah (nilai ulangan, nilai tugas, ujian tengah semester, ujian akhir semester) sulit dipraktekkan walaupun sudah ada peraturannya sejak 2007. Proses ini perlu disederhanakan sebagai bagian dari penerimaan fleksibilitas pendidikan nonformal & informal.

Caranya adalah dengan menjadikan rapor semester sebagai pilihan (optional) bukan kewajiban. Bagi PKBM yang memungkinkan melakukan penilaian rapor pembelajaran lengkap, nilai tersebut akan diperhitungkan sebagai komponen kelulusan. Bagi PKBM & siswa yang tidak memungkinkan, penilaian kelulusan diambil dari Uji Kompetensi dan Ujian Kesetaraan.

c. Pembelajaran Modular

Model pembelajaran dalam jalur pendidikan nonformal perlu dibuat dalam bentuk modular per mata pelajaran. Dalam sistem modular, tidak ada paket kenaikan kelas. Siswa bisa belajar dan menyelesaikan modul belajar sesuai kecepatan masing-masing.

Dengan sistem modular, jangka waktu antar-ujian menjadi lebih fleksibel, tak perlu dibatasi 3 tahun. Jangka waktu ujian ditentukan berdasarkan penyelesaian modul pembelajaran. Kalau siswa lulus Uji Kompetensi, maka dia berhak mengikuti Ujian Kesetaraan walaupun jangka waktu ijazahnya masih kurang dari 3 tahun.

d. Fleksibilitas Proses Belajar

Dalam pelaksanaan proses belajar, proses kehadiran dan tatap muka tidak perlu menjadi hal yang diwajibkan. Bagi peserta yang hadir mengikuti tutorial tatap muka, akan ada nilai tambahan khusus yang diperhitungkan dalam penentuan kelulusan. Bagi yang tidak mengikuti tutorial tatap muka tidak dipermasalahkan, dengan ketentuan bisa lulus Uji Kompetensi.

Fleksibilitas proses belajar ini akan memberikan ruang yang luas untuk inovasi model-model pembelajaran, baik berdasarkan model tertentu, misalnya: project-based learning, belajar daring (online learning), metode Montessori, metode Waldorf, inquiry-based learning, serta aneka model pembelajaran yang dijalani keluarga praktisi sekolahrumah dan sekolah-sekolah alternatif lainnya.

Tujuan utama dari fleksibilitas dalam proses belajar adalah membuka ruang inovasi. Adapun standar kualitas siswa dapat diukur melalui Uji Kompetensi dan Ujian Kesetaraan di akhir proses belajar.

e. Peningkatan Kualitas Bahan & Penilaian Ajar

Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, diperlukan penyediaan materi ajar yang sesuai dengan standar pendidikan nonformal dan selaras dengan proses ujian yang dilakukan. Materi ini tak harus dalam bentuk buku, tetapi bisa juga dalam bentuk video atau aplikasi (mobile application) yang bisa diakses secara luas oleh masyarakat.

Dalam penilaian kualitas hasil pembelajaran, perlu ditambahkan alat ukur lain selain tes tulis pilihan ganda, seperti: portfolio karya, essay, pengalaman magang (internship), jurnal pembelajaran, pengalaman organisasi, pengalaman kerja, dan lain-lain.

f. Peningkatan Kualitas Ujian melalui Test Center

Untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan Ujian Kesetaraan, pemerintah perlu membentuk Test Center. Test Center ini bisa berupa PKBM yang memiliki integritas proses yang baik dan fasilitas memadai. Test Center tak hanya menjadi tempat yang mengadakan Ujian Paket berbasis komputer yang prosesnya transparan dan accountable, tapi bisa menjadi penyelenggara ujian keterampilan lain yang berkaitan dengan pengembangan para siswa.

g. Insentif untuk warga nonformal

Dalam konteks yang lebih umum, pemerintah perlu memberikan insentif kepada para siswa yang menjalani pendidikan di jalur nonformal & informal yang bertujuan untuk memicu semangat belajar dan prestasi para siswa, misalnya: kegiatan pelatihan-pelatihan khusus, aneka perlombaan untuk siswa nonformal, serta beasiswa bagi siswa nonformal yang berprestasi (misalnya: lulus di perguruan tinggi negeri, prestasi seni & olahraga, dll).

***

Demikian catatan tentang Ujian Kesetaraan kami, dari sudut pandang selalu seorang pengguna layanan sekaligus praktisi pendidikan berbasis keluarga (homeschooling). Catatan dan masukan-masukan ini bersifat pribadi, tidak mewakili kelompok manapun.

Semoga catatan ini bisa menjadi bahan diskusi baik untuk para praktisi homeschooling, pemerhati pendidikan informal & nonformal, penyelenggara PKBM, serta pengambil keputusan yang berkaitan dengan Ujian Kesetaraan.

 

Jakarta, 20 Oktober 2017

1 thought on “Beberapa Gagasan tentang Ujian Kesetaraan”

  1. Assalamu’alaikum.
    Terima kasih telah menuliskan hal ini panjang lebar dan sangat lengkap.
    Hal yang sama kami rasakan sekarang, setelah memutuskan bahwa lembaga pendidikan yang kami dirikan, Le Cendekia, mengambil jalur NON FORMAL (PKBM) meski secara kasat mata, kami menyelenggarakannya secara formal, siswa datang tiap hari, bahkan berasrama.

    Fleksibilitas yang tadinya saya kira akan diperoleh dengan format PKBM, ternyata tidak seperti itu, karena SEMUA yang diajarkan di sekolah formal juga jadi mesti diajarkan di PKBM, apalagi dengan adanya aturan mengikuti kurtilas. Jadinya, beban anak-anak yang lewat jalur non formal malah jadi bertambah. Padahal pemikiran awalnya adalah agar anak-anak bisa berfokus pada bidang yang paling sesuai dngan minat dan kemampuannya kan?

    Namun sepertinya angin segar sedang ditiupkan oleh menteri baru. Semoga benar-benar jadi angin segar bagi dunia pendidikan yang terasa sumpek. Terima kasih.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.