fbpx

Yudhis Berhenti Les Gitar

Sebagaimana kehidupan, proses parenting dan homeschooling terkadang tak berjalan mulus. Apa yang kita anggap baik sebagai orangtua, belum tentu sesuai dengan anak. Kadang kita merasa gagal dalam proses parenting.

Rasanya kecewa. Tapi itulah kehidupan. Tinggal bagaimana menyikapinya agar kegagalan dan kekecewaan itu tak membentuk spiral negatif, tapi segera meluruh dan berganti spiral positif.

Kami mengalami hal itu beberapa waktu yang lalu saat Yudhis memilih berhenti les gitar.

Pertanda dan gejala-gejalanya sebenarnya sudah cukup lama terlihat. Yudhis jarang latihan gitar, bahkan hampir tidak melakukan latihan sama sekali. Dia pergi les gitar setiap minggu, tapi di luar itu tak pernah latihan.

Kalau diingatkan tentang gitarnya, baru Yudhis berlatih. Begitulah yang terjadi beberapa bulan terakhir.

Sampai suatu ketika aku memintanya memainkan gitar lagu-lagu yang dipelajarinya di tempat kursus gitar. Ternyata dia tak lancar memainkannya. Aku buka lagi halaman yang lebih depan, ternyata tidak lancar juga.

Lalu terjadilah dialog diantara kami.

“Jadi maumu bagaimana, Dhis?” aku bertanya dalam suasana yang canggung dan tidak enak. Rasanya pengin marah, tapi aku berusaha menahan diri melihat Yudhis sendiri sudah merasa bersalah.

Yudhis diam dan menunduk.

“Ini semua gara-gara kamu nggak pernah latihan gitar!” tak tertahan juga kemarahanku kepadanya. “Buat apa les gitar kalau tidak pernah latihan di rumah?!”

Suaraku makin meninggi sementara Yudhis hanya duduk diam dan tak menjawab apapun.

“Bapak nggak mau bayarin kamu les kalau kamu nggak latihan!”

Kemarahan demi kemarahan menyembur tanpa tertahan. Dan Yudhis tetap diam, berkaca-kaca, tak mengatakan apapun.

“Nggak ada gunanya menangis dan menyesal. Yang penting itu bukti!”

Tetap saja Yudhis tak mengeluarkan apapun dari mulutnya. Dan itu menambah kekesalanku kepadanya. Maka mulailah ancaman-ancaman keluar.

“Jadi kamu masih mau les gitar, nggak?”

“Mau, pak,” jawab Yudhis dengan lirih.

“Tapi harus ada latihan. Les sejam seminggu itu tak berpengaruh pada kemampuan gitarmu kalau tidak dilatih,”

Yudhis kembali diam.

“Bagaimana? Mau latihan nggak?”

Yudhis kembali tak bersuara. Stuck. Suasana hening.

Dalam keinginan meredakan kemarahan dan memecahkan keheningan. Aku berkata kepadanya dengan emosi yang lebih turun.

“Jadi kamu maunya bagaimana?”

Eh, tak ada jawaban juga. Rasanya kemarahan sudah siap naik ke ubun-ubun lagi. Tapi lamat-lamat aku mulai menyadari bahwa aku sedang berhadapan dengan seorang remaja yang sedang membentuk identitas dirinya. Bersikap keras dan konfrontatif tak akan membuat proses perkembangannya menjadi lebih baik.

“Oke, pilihannya ada dua. Kalau kamu masih mau les gitar, kamu harus latihan juga di rumah. Kalau nggak mau latihan, berarti les gitarnya berhenti saja.”

Yudhis diam cukup lama. Dan tiba-tiba keluar kata-katanya: “Aku berhenti saja…”

Duh, kini aku yang pusing. Aku sama sekali tak mengira pilihan itu yang diambilnya. Tadinya aku berharap dia akan berjanji meneguhkan diri untuk latihan dan menyelesaikan les gitarnya hingga level 5.

Ya, kami memang pernah membicarakan tentang harapan kami agar Yudhis menyelesaikan les gitarnya hingga selesai (5 level) di Yamaha. Yudhis sudah belajar gitar 2 tahun, jadi setidaknya ada 3 tahun lagi untuk menyelesaikannya.

“Kamu nggak pengin menyelesaikan les gitarmu?” aku berusaha mengingatkannya. Tapi Yudhis diam dan tak menjawab.

“Ya sudah kalau memang itu keputusanmu,” kataku pada akhirnya sambil menutup percakapan dengan Yudhis.
Finger-style

 

***

Rasanya kecewa dan sedih melihat Yudhis berhenti les gitar dan berlatih gitar. Kepada Yudhis, kami selalu bercerita bahwa keterampilan bermain gitar itu penting. Selain menjadi modal yang sangat bermanfaat untuk pergaulan, dia bisa menjadi teman untuk sendiri, bahkan bisa menjadi sumber penghasilan.

Tapi setelah kesadaranku mulai lebih tenang, aku merefleksikan diri. Untuk kepentingan siapakah berlatih gitar itu? Untuk kepentingan Yudhis atau kepentinganku yang ingin memiliki anak yang jago gitar dan bisa dipamerkan?

Ini dilema yang tak mudah dan pasti dihadapi orangtua dalam banyak kasus. Kemauan anak diikuti agar spirit internalnya berkembang atau dia perlu dipaksa agar belajar komitmen/disiplin?

Lala bercerita bahwa dia dulu tak disiplin berlatih musik waktu kecil dan keluar dari les piano di tengah jalan. Setelah dewasa, dia merasa bahwa kalau dia agak dipaksa, mungkin kemampuannya bermain piano jauh lebih baik daripada sekarang.

Tapi itu kan hanya berandai-andai. Bisa jadi, kalau dipaksa hasilnya malah stuck dan kehilangan spirit bermusik yang saat ini menjadi modal terbesar Lala saat mencipta lagu.

So, karena aku merasa bahwa kepentingan pribadiku cukup kental, aku memilih untuk berdamai dan mengalahkan kekecewaanku. Aku memilih untuk memberikan kesempatan pada Yudhis memilih keputusan untuk hidupnya sendiri.

***

Pelajaran parenting yang sedang kami hadapi saat ini adalah mulai menarik posisi dari depan ke samping, bergeser dari memberi arah menjadi lebih banyak menemani. Setiap remaja memang memiliki masa untuk membangun identitas yang berbeda dari orangtuanya. Dan itu sering menjadi masa yang sulit, baik bagi mereka maupun bagi orangtua.

Sebagai orangtua, kami harus belajar berdamai dengan keadaan itu agar kami bisa sama-sama melewati masa gejolak remaja ini dengan lebih mulus.

 

3 thoughts on “Yudhis Berhenti Les Gitar”

  1. Saya suka tulisan ini. saya kira keberhasilan saja yang selalu dikemukakan, tetapi “kegagalan” juga. Sangat jujur, terima kasih buat keterbukaannya. Kamipun mengalami kesulitan saat ini dengan latihan keyboard anak kami, kadang merasa bersalah dan berpikir fasilitas apa yang kurang. Sekarang kami tau, ada hal yang tidak bisa dipaksakan sesuai kemauan orang tua. Terima kasih buat inspirasinya

  2. Membaca tulisan ini, membuatku teringat saat aku SMP, saat aku dileskan gitar oleh orangtuaku untuk mengembangkan minatku bermain gitar. Hanya beberapa bulan les, menempuh satu kali ujian (lulus lho…) , tak lama setelah itu aku memutuskan untuk berhenti les. Entah apa alasan Yudhis berhenti, kalau aku karena merasa gurunya lebih perhatian kepada teman sekelas yang lebih pintar baca not balok. Aku bisa baca not balok, tapi emang agak lemot… xp. Dan karena tidak cukup sabar itulah yang membuatku berhenti les.

    Seperti yang dipikirkan Mbak Lala, andaikata aku lebih sabar, mungkin kemampuanku bermain gitar saat ini bakalan lebih baik. Tapi itulah konsekuensi dari pilihan masa remajaku. Andaikata ada mesin waktu dan aku bisa bertemu diriku yang masih labil itu (kayak Nobita…), lalu membujuknya untuk les gitar lagi, mungkin ceritanya akan lain lagi.

    Kini yang tersisa adalah minat untuk kembali memetik lagu2 klasik melalui not2 balok yang terdapat di lembaran2 buku les tersebut. Kendalanya hanya satu: waktu. Saat ini hari2 sedang diprioritaskan untuk menyelesaikan tugas2 keseharian. Mungkin suatu saat nanti, saat jari2 yang sudah tidak muda lagi ini mulai kaku, aku akan mulai mencoba untuk mengasah kemampuan gitarku. Tidak ada kata terlambat untuk belajar, bukan? ‘Selama minat masih dikandung badan…’ (begitu bukan teks lagunya? :D)

    For Yudhis, aku berharap dia dapat menyelesaikan apa yang menjadi kendala sehingga memutuskan untuk berhenti les. Betapapun, urusan seni memang tidak bisa dipaksa. Namun andaikata kamu berhasil untuk berminat lagi les gitar, it will be a very very good thing for you in the future, karena aku pernah mengalaminya.

    Sekadar sharing tentang apa2 yang kualami dan kurasakan terkait berhentinya Yudhis dari les gitarnya. Semoga bermanfaat. Salam untuk Mas Aar, Mbak Lala dan keluarga 🙂

    1. Ya makasih komennya om, iya, aku lagi menekuni 3D jadi aku ingin berhenti sebentar gitarnya. mungkin nanti tahun depan setelah 3D ku mulai mapan aku bisa membagi waktu lebih banyak untuk gitar. Dan iya itu yang ibu bilang sama aku, Coba ibu agak di paksa waktu itu. Haha

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.