fbpx

Refleksi Usia 35

35Aku bahagia, Tuhan berkenan menyampaikanku ke usia 35. Masih muda kah atau sudah tua kah itu? Kalau dibanding dengan usia pohon, tentu usia itu sangat muda. Tapi kalau melihat kenyataan betapa tinggiku sudah dikalahkan oleh si sulung, rasanya menjadi tua 😀

Jarang sekali aku menuliskan “refleksi ulang tahun” pribadi. Biasanya yang kutulis adalah refleksi ulang tahun pernikahan atau malah justru ulang tahun anak-anak. Tapi kali ini aku ingin membuat catatan kecil tentang usia 35. Usia yang buatku sangat spesial karena usia inilah yang paling sering aku bayangkan ketika aku kecil dulu,

Dulu, waktu aku masih SMP-SMA, aku selalu berkhayal kelak menjadi wanita karir sukses yang (baru) akan menikah di usia 35. Kenapa 35? Bayanganku waktu itu, di usia 35 karirku sudah mapan, belum terlalu tua untuk punya anak & yang paling penting adalah kalau nanti aku menikah usia 35, maka pria sepantar yang akan aku nikahi itu pastinya juga seorang pria “dewasa”.

Maksudnya bagaimana? Jadi gini, aku itu kan waktu kecil (sekarang juga sih masih ada sisa-sisanya) agak keras kepala & “susah diatur”. Itu membuatku tak mau menikah dengan pria yang lebih tua. Maksimal 1-2th di atas, syukur-syukur dapat yang sepantar. Kenapa? Karena bayanganku kalau punya suami jauh lebih tua pasti dia senengnya nyuruh-nyuruh ini-itu, ngelarang ini-itu dsb. Sedangkan kalau menikah dengan yang sepantar kan berarti kita setara… #wohooo feminis sejati sejak kecil… hehehehe.

Nah, jadi kalau aku menikah usia 25 misalnya, berarti itu sama dengan harus menikah dengan pria usia 25 tahun yang mungkin masih tinggi ego-nya, agak-agak masih ceramitan, nggak dewasa, ngambekan, dikit-dikit jealousan, beuh mana tahaaan! Belum lagi rasanya di usia 25th itu tingkat bokis kayaknya belum terlalu berkurang… Bwaa hahaha..

Mohon maaf lahir batin yaaa, kalau di antara yang baca posting ini ada pria usia segitu. Nggak maksud men-generalisasi-kan pria usia segitu. Ini kan sedang sharing “bayangan” ketakutan masa kecilku dulu. Mungkin keinginan menikah dengan pria sepantar bercermin dari asyiknya melihat bapak-ibuku yang usianya sepantar, di mataku mereka sangat mesra & seperti sahabat yang setara. Mungkin juga sedikit banyak ketakutan ini terbangun karena sebagian sahabat masa kecilku adalah cowok-cowok “flamboyan” yang mana tahan bokisnya.. hehehe.. (semogaa gak ada yang baca dan komplein yaah…. peace prens… itu kan dulu, aku percaya teman-temanku yang sekarang sudah punya anak bejejer pasti jauh lebih dewasa daripada waktu SMP-SMA dulu. Xixixi..).

Sebenernya sih kalau boleh jujur, waktu itu ketakutan terbesar tentang pernikahan adalah ketidakbebasan berekspresi. Aku membayangkan betapa kalau sudah menikah itu lalu nggak bisa “memaksimalkan” semua kemampuan, terpenjara oleh keberadaan anak-anak yang perlu disuapi, diurusi, dimandikan, belum lagi ada suami yang perlu dilayani dan seterusnya dan seterusnya. Apalagi cita-citaku jadi dubes, jadi kayaknya bakal susah kalau menikah muda.

Jadilah, angka 35 itu sempat jadi “angka keramat” buatku waktu kecil. Aku selalu membayangkan, berapa tahun lagi aku bisa berkarya sebelum sampai di usia 35. Tiap ada yang “nembak” pasti aku jawabnya, nanti yah… kita ketemu lagi umur 35. Hahahaha… #GR bener, mending orangnya mau nungguin. Tapi pikirku waktu itu kalau sampai ada seorang cowok yang beneran mau menunggu aku sampai usia 35, itu keren banget! Untungnya nggak ada, karena pasti dia akan kecewa. heu heu heu……

***

Tapi memang Allah itu maha pembolak-balik hati. Dan memang bener kata orangtua “pamali” bilang nggak suka sesuatu terlalu kebangetan karena itu akan berbalik seperti boomerang. Ternyata oh ternyata, aku jatuh cinta dengan pria berusia 9th lebih tua & menikah di usia 21 tahun. eng ing eng….. awas yaaa, kalau ada yang berfikir ini MBA. Ini murni karena perubahan logika yang berhasil disusupkan mas Aar ke dalam kepalaku saat itu. hahaha… ternyata, diam-diam mas Aar ini menyamar menjadi “om” yang baik hati yang mendengarkan segala curhatanku dengan telinga terbuka hingga akhirnya mampu membuatku jatuh cinta & mau menikah dengannya.

“om” yang satu ini, pendekatannya halus sekali, berbeda dengan pe-de-ka-te-nya temen-temen sepantarku yang belum apa-apa suka bikin males duluan. Bersamanya, aku tak hanya mau menikah muda, tapi juga sepakat untuk tidak menyekolahkan anak-anak kami kelak. Sebuah kegilaan yang berbuah kegilaan-kegilaan lain yang ternyata membuat hidupku sangat mengasyikkan.

***

Dan hidupku pun bergulir, berbeda sama sekali dari apa yang pernah aku bayangkan waktu kecil dulu. 1 dasawarsa pertama pernikahan kami, nyaris aku jarang sekali keluar rumah. Kalau pun aku berkarya, semuanya aku kerjakan tanpa keluar rumah.

Menjelang akhir masa Duta menyusui, mas Aar sempat bercanda, “begitu Duta selesai menyusu maka itu tanda kamu siap untuk kembali berkarya ke luar rumah”. Waktu itu rasanya kalimat itu lucu, karena aku tak lagi hidup dalam dunia profesionalisme. Waktuku benar-benar habis untuk urusan domestik. Sama sekali tak membayangkan bentuk kehidupan yang lain selain apa yang sudah kujalani bersama anak-anak.

Ternyata, yang terjadi kemudian sulit untuk aku pahami juga… begitu Duta selesai menyusu, satu persatu tawaran “pekerjaan” berdatangan. Dan ajaibnya, pekerjaan yang datang itu menyesuaikan dengan bentukku sebagai ibu rumah tangga dengan proporsi waktu banyak untuk anak-anak, banyak pekerjaan “profesional” yang bisa aku kerjakan dari rumah.

Setahun terakhir, menjelang ulang tahunku yang ke 35, aku mulai seperti ditarik untuk kembali keluar dari zona nyamanku. Kami (aku dan mas Aar) yang selalu berusaha mengikuti alur yang diperjalankan oleh semesta kadang merasa seperti naik rollercoaster yang naik turunnya sering membuat kami mual, tapi excited, takut tapi gembira, pusing tapi bikin ketagihan.

Dan beberapa bulan terakhir, rollercoasternya bergerak lebih cepat dari biasanya. Banyak momen-momen mixed feeling yang terjadi sangat kontras pada saat bersamaan. Seakan rollercoaster itu bergerak naik-turun dari bumi ke langit turun lagi ke bumi. Saking cepatnya sampai kadang kami hanya mampu saling berpegangan tanpa mampu berkata apa-apa.

***

Aku tahu sebuah hal besar akan terjadi padaku di usia 35…
I just can feel it…
Dulu aku fikir hal besar itu adalah pernikahan, ternyata bukan itu
Tapi aku tetap merasa bahwa hal besar akan terjadi padaku di usia 35
Walau samar, tapi aku merasa bisa melihatnya…
Semoga bayanganku kali ini tak salah..
Tapi kalau pun salah, aku tetap percaya bahwa yang akan terjadi
Pastilah lebih indah daripada yang kubayangkan..
Karena aku menggantungkannya sepenuhnya dalam kehendakMu… Tuhan…

7 thoughts on “Refleksi Usia 35”

    1. Terima kasih mb Anna..
      Aku memang merasa sangat bersyukur Allah tidak mengabulkan harapanku untuk menikah di usia 35. Justru nggak kebayang kalau sekarang baru mulai berfikir tentang keluarga, apakah masih punya cukup energi untuk melakukannya, apalagi memutuskan untuk mendidik anak sendiri.

      Tapi yaa.. lagi-lagi hidup itu kan misteri.. hehehe..

  1. Refleksi yang sangat indah. Manusia merencanakan Tuhan yang menentukan. You are my great inspiration. Umur saya jauh tua dari Lala, tapi saya menyukai cara berpikir (paradigm), cita-cita Lala. Karunia talenta yang diberikan Tuhan kepadamu sangat hebat. Hidup dalam dinamika yang sangat keras, tapi tetap berpegang sepenuh kepadaNya.

    1. Aamiin… terima kasish apresiasinya ya mbak..
      Aku yakin setiap dari kita diciptakan indah untuk merekah pada waktunya. Hanya karena kadang sebagai manusia suka nggak sabar pengen cepet2 lihat hasilnya, padahal mungkin menurut Tuhan memang belum waktunya. Hehehehehe 😀

  2. Salam kenal mba Lala…
    Believe it or not bayangan masa kecilnya sm lho lyk aku mbakk heuheu.. dan Tahun 2014 ini aku masuk juga 35 th, nanti bulan agustus.. xixi jd degdegan gimana gitcu, but anyway my live is complete i guess, husband and son, and i,’m feel alive yeaayhh 35 im ready! hihii…

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.