fbpx

MAJALAH GATRA: Menuntut Ilmu di Rumah Sendiri

Gatra-LogoPendidikan homeschooling makin marak. Pertanda tidak percaya pada sistem pendidikan yang ada. Turut menampung mereka yang kecewa, trauma, tidak percaya, dan autis. Tak sedikit yang berprestasi gemilang.

Bulan Mei boleh dibilang bulan istimewa bagi keluarga pasangan Sumardiono dan Maria Julia (koreksi: Mira Julia, red.). Saat Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional, perhatian terhadap keluarga ini pun meninggi. Sejumlah jurnalis koran, radio, dan televisi berkunjung ke kediaman mereka di kompleks PWI, Cipinang Muara, Jakarta, meliput keseharian keluarga ini, yang cukup berhasil menerapkan metode homeschooling untuk kedua anaknya, Yudistira dan Tata.

Ketika wartawan Gatra Andri Siswanto berkunjung ke kediaman Aar, demikian Sumardiono biasa disapa, putra-putrinya sedang asyik “bersekolah”. Tata, gadis kecil berusia tujuh tahun, sedang sibuk menata kertas puzzle-nya, sedangkan abangnya, yang berusia 11 tahun, sedang mencoret-coret sesuatu di meja.

Aar mengaku memilih metode pendidikan macam ini sejak jauh-jauh hari. Gagasan awal menjalankan homeschooling bahkan sudah terlintas saat Mira Julia masih mengandung Yudistira pada 1998. “Waktu itu, kami bahkan tidak tahu istilah model pendidikannya. Tapi kami terus mencari referensi ke sana kemari,” kata Aar.  Kini Aar tidak melenggang sendirian, karena homeschooling menjadi kecenderungan baru di Tanah Air.

“Anak-anak belajar mandiri di rumah, dibimbing orangtua atau guru yang datang ke rumah. Itu konsep dasarnya,” kata Hamid Muhammad, Dirjen Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), menerangkan tentang definisi homeschooling. Oleh sebab itu, banyak juga yang menyebutkan fenomena ini sebagai pendidikan “sekolah rumah” atau “sekolah mandiri”. “Jadi, pendidikannya lebih banyak otodidak dan masuk dalam kategori pendidikan informal,” ujar Hamid.

Gatra-Homeschooling1

Walaupun istilahnya dari Barat, sekolah mandiri sebenarnya telah jauh-jauh hari diterapkan di Indonesia. “Bapak Pendidikan Indonesia”, Ki Hajar Dewantara, telah melaksanakannya dengan gerakan Taman Siswa, pendidikan gratis bagi pribumi. Beberapa tokoh nasional juga merupakan produk homeschooling, seperti KH Agus Salim, Buya Hamka, dan Ki Hajar Dewantara. Sedangkan tokoh Barat beken hasil didikan homeschooling antara lain Albert Einstein, Wodrow Wilson, Alexander Graham Bell, dan Winston Churchill.

Kini penyelenggaraan homeschooling makin meluas dengan beragam jenisnya. Tapi, sayang, belum ada survei resmi tentang jumlah penyelenggara homeschooling di Indonesia. Apalagi, sifatnya informal sehingga sulit dipantau petugas. Toh, data tak resmi Kemendikbud menyebutkan, setidaknya ada sekitar 600 homeschooling di Jakarta yang diselenggarakan baik di tingkat keluarga, komunitas maupun institusi. “Homeschooling yang tercatat saat ini kebanyakan hampir 90% adalah jalur nonformal,” kata Hamid.

Angka-angka itu jelas bakal terus berkembang. Betapa tidak, tingginya minat masyarakat pada sekolah mandiri dapat terbaca di Google Trend. Aplikasi ini mencatat tren pencarian kata di mesin pencari Google. Indonesia rata-rata menduduki peringkat ketiga setelah Afrika Selatan dan Amerika Serikat dalam hal pencarian kata “homeschooling” pada periode 1994-2012.

Perkembangan ini juga terlihat dengan makin beragamnya komunitas dan lembaga pendidikan homeschooling yang muncul. Misalnya kelompok Asah Pena (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif), RumahInspirasi (Jakarta), Klub Sinau (Sidoarjo), serta Berkemas (Berbasis Keluarga dan Masyarakat). Masing-masing mengaku memiliki puluhan hingga ratusan anak dirik. (note: RumahInspirasi adalah keluarga homeschooling tunggal, tak memiliki anak didik)

Yayah Komariah, pengasuh Berkemas, misalnya, kini punya setidaknya 90-an siswa dari tingkat taman kanak-kanak hingga SMA. “Yang masuk Berkemas banyak, apalagi setelah ada blog. Padahal kami tidak pernah pasang spanduk atau sebarin brosur lho,” tutur Yayah suatu ketika kepada wartawan. Begitu juga Klub Sinau yang didirikan pada 2007 kini memiliki anggota setidaknya 30 kepala keluarga.

Dari sekian banyak komunitas yang ada, RumahInspirasi.com, yang dikelola Aar, boleh dibilang yang paling aktif menginformasikan panduan homeschooling. Menurut Aar, basis pendidikan dalam sekolah rumah adalah keluarga. “Pendidikan ini mengandalkan nilai-nilai keluarga. Jadi, pelaksanaannya berbasis visi dan target sebuah keluarga. Pendidikan macam ini sangat mengandalkan topangan penuh dan kekuatan keluarga,” Aar menjelaskan.

Konsekuensinya, Aar dan Lala harus memilih pekerjaan yang bukan kantoran. Saat ini, Aar memilih profesi sebagai desainer situs, mengelola rumahinspirasi.com dan menjadi blogger dibantu isteri. Maka, setiap hari adalah hari-hari belajar sekaligus bekerja bagi keluarga Aar.

“Kurikulum” yang dikembangkan tentu berbeda dari sekolah biasa. Mereka mengembangkan metode sendiri. “Jika sekolah formal itu seperti restoran cepat saji, sudah diberikan paket-paket kurikulum untuk digunakan, homeschooling ini seperti makan prasmanan. Kita memilih sendiri kurikulumnya,” kata Aar.

Di sekolah rumahnya, pelajaran pertama dimulai sejak sarapan pagi. “Anak-anak diajak berdiskusi tentang materi apa kira-kira yang akan dipelajari hari itu, tutur Aar. Lalu, saat makan malam, terjadi pembahasan lagi untuk mendapat umpan balik atas apa yang telah dilakukan sepanjang hari.

Tak hanya RumahInspirasi, Klub Sinau juga mengandalkan peran keluarga dalam menjalankan homeschooling. Awalnya, komunitas ini dibentuk sebagai wadah komunikasi antar-keluarga homeschooling. “Biasanya keluarga yang ingin menjalankan homeschooling masih ragu-ragu. Di sinilah tempat sharing, berkeluh kesah, dan mendapatkan informasi yang benar,” kata Maria Magdalena, perintis dan pengelola Klub Sinau.

Menurut Maria, pilihan pada homeschooling adalah keputusan penting, bukan untuk coba-coba. Oleh sebab itulah, ia sangat hati-hati menerapkan sekolah mandiri bagi putranya, Pandu Husain, 7 tahun. “Homeschooling sangat bergantung pada sosok pendamping belajar, dalam hal ini orangtua. Jika orangtua memberikan pengalaman belajar yang baik, penuh kasih sayang, dan mengutamakan pembentukan karakter cinta belajar, maka anak-anak pun bisa berkembang dengan baik,” ujar Maria.

Jadi, yang menjadi subjek pendidikan di sini adalah anak-anak. Karena itulah, lanjut Maria, orangtua bahkan tak bisa main paksa jika anak menolak homeschooling. “Jika suatu saat anak ingin bersekolah, saya pun tidak akan melarang, karena saya percaya bahwa dia sudah tahu yang terbaik baginya,” kata Maria.

Gatra-HS2

Namun, belakangan, gaya belajar-mengajar homeschooling berkembang lebih kompleks, lebih “terlembaga” seperti diistilahkan Aar dan Lala. Mereka terus terang sempat bingung atas perkembangan ini. Mislanya, ada lembaga yang menawarkan paket homeschooling dengan jadwal pertemuan tiga kali seminggu. “Lantas, apa bedanya dengan les atau bimbingan belajar?” tanya Aar.

Ada juga orangtua yang bertanya lewat situs rumahinspirasi, berapa jasa guru homeschooling karena mereka sibuk bekerja. “Lucunya, ada juga yang ingin menitipkan anaknya di rumah kami karena tertarik dengan aktivitas yang kami laporkan di website,” ujar Lala sembari tersenyum. Padahal, dalam homeschooling, menurut Lala, orangtua adalah peran utama yang harus mendidik sendiri anak-anaknya. Kalaupun ada tutor atau guru, sedapat mungkin bersinergi dengan visi keluarga.

Tapi kenyataannya, kondisi itulah yang kini marak dnegan aroma bisnis yang cukup kental. Sejumlah lembaga homeschooling tumbuh subur sejak tahun 2000-an. Penyebabnya, tak lain, makin banyaknya siswa yang tidak bisa belajar di sekolah formal.

Direktur Cendekia Homeschooling, Fauzan Asmara, mengakui kondisi itu. Sejak didirikan pada 2010, Cendeia yang bermarkas di Jalan Water kilometer 5, Gamping, Sleman, Yogyakarta, telah memiliki 25 siswa dari jenjang SD hingga SMA dan terus bertambah. Fauzan menyebutkan, anak didik Cendekia dapat menentukan model dan lokasi belajar, di rumah sendiri atau berkelompok. “Tapi kami cenderung menyarankan agar siswa dapat belajar berkelompok agar dapat bersosialisasi,” kata Fauzan.

Materi belajar yang diberikan disesesuaikan dengan kurikulum resmi yang diujikan secara nasional, dengan tenaga pengajar 19 orang. Cendekia juga menyediakan guru khusus untuk siswa dengan kebutuhan khusus pula. Misalnya mereka yang menderita autisme atau gejala mental lainnya.

Untuk segala fasilitas ini, Cendekia memasok biaya Rp 75.000 untuk tingkat SD-SMP dan Rp 100.000 untuk SMA setiap satu kali pertemuan privat. Dalam sebulan, ditetapkan 12 kali pertemuan. Untuk kelas komunitas, biayanya tergantung banyaknya peserta, tapi rata-rata mencapai Rp 600.000 per bulan.

Sebelum Cendekia, Homeschooling Primagama (HSPG) lebih dulu beroperasi pada 2008. “HSPG adalahunit termuada dari Primagama (lembaga bimbingan belajar di Yogyakarta),” kata Direktur HSPG, Kusnanto. Saat itu, homeschoolingnya diikuti 17 anak. Kini siswanya tercatat 162 anak dari tingkat SD-SMA dengan 42 tenaga pengajar. HSPG juga membuka cabang di 17 kota. “Bahkan ada siswa yang belajar online via Skype karena tinggal di Qatar dan Angola,” ujarnya.

Seperti lembaga homeschooling lainnya, HSPG mengajarkan kurikulum dengan kelas belajar tiga hari dalam sepekan. Selain itu, ada kelas komunitas selama sehari yang diwajibkan bagi seluruh anak didik di kampus HSPG. “Kelas komunitas ini untuk menghindari anak-anak homeschooling yang disebut kurang sosialisasi,” kata Kusnanto.

Untuk berbagai layanan ini, biaya pendidikan HSPG tergolong mahal. SPP tiap bulan untuk siswa SD-SMA mencapai Rp 600.000 dan Rp 1.2 juta untuk privat. Ada juga kelas internasional yang biayanya mencapai Rp 1,8 juta per bulan. Selain itu, uang pangkal SD mencapai Rp 6 juta, SMP Rp 7 juta, dan SMA Rp 8 juta. Bila naik kelas, tiap anak membayar lagi separuh dari jumlah itu. “Ibaratnya, kalau sekolah formal itu mal, homeschooling kami seperti butik,” tutur Kusnanto bertamsil.

Tak pelak lagi, HSPG telah berkembang, bahkan sudah seperti sekolah swasta. Kampus HSPG saja kini mencapai 75 ruang kelas. Maklumlah, menurut Kusnanto, sebanyak 90% siswa HSPG lebih suka belajar di kampurs. Oleh sebab itu, masalah yang dihadapi HSPG saat ini adalah gedung yang kurang luas.

Jika tidak ada halangan, tahun akademik mendatang, HSPG akan membuka gedung yang lebih luas di kawasan Kota Baru, Yogyakarta. Di sana akan dilengkapi dengan laboratorium, fasilitas pembinaan bakat, dan pembinaan penjurusan yang jadi unggulan HSPG.

Kusnanto menyatakan, homeschooling memang menjadi peluang bisnis tersendiri. “Ini sekaligus memenuhi kebutuhan pendidikan dan menampung mereka yang memang tidak bisa ke sekolah formal,” katanya. Soalnya, homeschooling menjadi tumpuan anak-anak yang memerlukan perhatian khusus.

Misalnya mereka menderita autisme, depresi, cacat, hingga menderita penyakit tertentu. “Ini termasuk anak yang kurang konsentrasinya, tidak fokus dalam belajar, trauma, terkena bullying, hingga mengalami insomnia,” ujar Kusnanto. Sebanyak 20% siswa HSPG termasuk kategori ini.

Ada juga yang berasal dari kalangan putus sekolah, dikeluarkan dari sekolah karena sesuatu sebab, atau karena selalu berpindah-pindah tempat lantaran tuntutan pekerjaan orangtua.

Tapi para siswa homeschooling ini justru berasal dari mereka yang sangat berprestasi, sehingga kesibukan mereka tak sesuai dengan kegiatan sekolah. Mereka inilah artis cilik, atlet cilik, dan mereka yang sejak usia dini sebuk berbisnis.

Selebihnya adalah mereka yang benar-benar menghayati homeschooling sebagai pandangan hidup. “Anak-anak kami bukan termasuk anak genius yang unik, juga tidak berkebutuhan khusus. Semua normal-normal saja. Kami pun tidak memiliki pengalaman traumatik terhadap sistem pendidikan nasional,” kata Aar.

Singkatnya, menurut Kusnanto, paham homeschooling-lah yang dapat menampung aspirasi mereka. “Penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak ini merupakan tantangan bagi pemerintah, tetapi juga menjadi peluang bagi kami,” katanya.

Karena itu, Fauzan memandang, homeschooling adalah persoalan yang cukup serius sehingga memerlukan penanganan yang serius pula. Mereka telah membentuk Asosiasi Homeschooling Yogyakarta yang beranggota 15 penyelenggara pendidikan sekolah mandiri, sebulan lalu. Menurut Fauzan, para pengurus asosiasi ini telah bertemu dengan Dinas Pendidikan DIY. Tujuan pertemuan itu, meminta izin agar penyelenggara homeschooling dapat melaksanakan ujian kesetaraan sendiri.

Pengamat pendidikan dan aktivis anak, Seto Mulyadi, melihat fenomena maraknya homeschooling itu sebagai gambaran belum terwujudnya sistem pendidikan yang ramah dan nyaman bagi anak. “Sekolah formal selama ini menjadi semacam pelaksana robotisasi. Anak seperti robot,” kata pria yang akrab disapa Kak Seto itu kepada Flora Libra Yanti Barus dari GATRA.

Maka, menurut Kak Seto, proses belajar pun dapat cenderung menjadi penuh dengan kekerasan fisik dan psikologis. Apalagi dengan kurikulum yang padat, ditambahkan pekerjaan rumah yang bertumpuk. Akibatnya, banyak murid yang stres dan merasa tertekan. Akhirnya muncul tingkat agresivitas yang tinggi, seperti bullying.

“Di Jawa Barat saja ditemukan 60% murid sekolah dasar yang mengalami bullying. Belum lagi ditingkat SMP dan SMU. Kekerasan sekolah diperparah dengan tawuran, narkoba, dan sebagainya. Akibatnya, banyak yang mogok sekolah,” ujar Kak Seto. Kondisi inilah yang mendorong Kak Seto ikut menyelenggarakan Homeschooling Kak Seto (HSKS) sejak 2003.

Pengamat pendidikan, Munif Chatib, berpendapat senada. Menurut dia, sekolah mandiri adalah pertanda adanya lapisan masyarakat yang menginginkan sistem pendidikan yang lebih baik. “Mereka menilai, sekolah formal sama sekali tidak dapat diandalkan untuk pendidikan anak-anak mereka,” kata Munif.

Konsep sekolah masa depan, menurut bapak satu anak itu, akan cenderung terfokus pada dua hal. Yakni, yang berbasis potensi distrik dan potensi individu. Saat ini, sekolah-sekolah modern mulai mengarah ada potensi individu.

Bagi pakar pendidikan dan anak, Elly Risman, sudah waktunya pemerintah beserta tokoh masyarakat memandang fenomena homeschooling lebih serius. Sejumlah negara industri maju, seperti Amerika Serikat, bahkan telah melembagakan homeschooling dan menyusun kurikulumnya sendiri.

“Kurikulum mereka sangat rapi dan detail,” kata Elly, yang menjadi anggota National Moslem Home Schooler and Resource. Kini setidaknya ada 10 juta anak Amerika yang menikmati homeschooling. Namun, lanjut Elly, penyelenggaraan sekolah mandiri di sana tetap tidak meninggalkan karakteristik utamanya: bahwa pendidikan utama adalah keluarga.

Jika di Amerika yang menjadi guru adalah orangtuanya, maka di Indonesia umumnya anak homeschooling diasuh oleh guru yang diundang ke rumah. Jadi, orangtua tetap dapat bekerja. “Ini tidak ada salahnya, asalkan orangtua tetap menjadi guru utama,” ujar Elly kepada Umaya Kusniah dari GATRA. Sejauh ini, menurut pengamatan Kak Seto, maraknya homeschooling justru menjadi pertanda positif bagi perkembangan masyarakat. Ia yakin, alumni homeschooling dapat memberikan warna tersendiri pada masyarakat. “Setidaknya, anak tidak menjadi robot atau bebek-bebek penurut yang hanya bisa manut,” katanya.

Gatra: Nur Hidayat, Ade Faizal Alami, Airef Sujatmiko (Surabaya), dan Arif Koes Hernawan (Yogyakarta)

(Sumber:  Liputan Majalah Gatra no. 30 Tahun XVIII, 31 Mei-6 Juni 2012)

3 thoughts on “MAJALAH GATRA: Menuntut Ilmu di Rumah Sendiri”

  1. Terimakasih, pendaftaran saya sudah diterima oleh rumah inspirasi unuk memperoleh informasi mengenai home schooling.

  2. Saya ibu dari anak autism, skrg bersekolah di smp negri inklusi ,, saya ingin memasukkan anak saya hs tetapi saya masih bingung hs yg bisa menerima anak autis,, skrg ini disklh umum.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.