Orangtua tak lagi menjadi guru di rumah?
Esquire membunyikan bel sebuah rumah di bilangan Cipinang Muara, Jakarta Timur. Sejurus kemudian keluarlah sepasang anak laki-laki dan perempuan. “Mas dari mana?” tanya sang anak laki-laki tanpa perasaan canggung. Sekilas tidak ada yang berbeda dari kedua anak itu dibandingkan anak sebayanya. Namun Yudhistira, nama anak laki-laki itu, sesungguhnya punya aktivitas yang “tak biasa” dari anak Indonesia umumnya. Kami dapat bertemu pagi itu bersama Yudhis, panggilan akrabnya, bukan karena ia sedang libur atau tidak masuk sekolah. Karena Yudhis memang bersekolah di rumah alias homeschooling (HS). Orangtua Yudhis, Sumardiono (Aar) dan Mira Julia (Lala) memutuskan untuk melakukan HS daripada menyekolahkan anaknya kepada sekolah umum atau formal.
HS memang sudah menjadi sebuah pendidikan alternatif di Tanah Air. Tentu dengan berbagai alasan yang menyertai mengapa akhirnya orangtua lebih memilih jalur ini. Aar misalnya tidak kemarin sore memutuskan untuk membuat HS untuk anaknya. Pendidikan jenis ini sudah menjadi diskusi hangat saat di awal pernikahan. “Saya merasa sekolah formal makin lama makin seragam sehingga anak tidak bisa berkembang sesuai dengan apa yang ada di dalam dirinya,” jelas Aar.
Secara sederhana, HS adalah pendidikan yang dilakukan di rumah dengan orangtua sebagai pendidiknya. Namun jangan bayangkan anak akan duduk rapih di bangku, sibuk mencatat, sementara orangtua sebagai “guru” sibuk mencoret-coret whiteboard layaknya pemandangan lumrah di sekolah. Setiap keluarga pelaku HS mempunyai standar yang berbeda-beda dalam merealisasikan HS di rumahnya.
Dalam keluarga Aar misalnya, proses HS dalam keseharian adalah menggunakan sistem menu. Dimulai dari sarapan pagi bersama anak-anak untuk melihat apa yang akan dipelajari hari ini. Setiap harinya tetap ada “pelajaran wajib” yaitu matematika dan bahasa Inggris. Sisanya kemudian ditanyakan kegiatan yang ingin mereka lakukan. “Misalnya mau membuat video atau mengerjakan proyek di Photoshop. Itulah yang menjadi kegiatan hari itu yang kita cek perkembangannya pada saat makan malam. Sepanjang waktu kegiatan itu mereka bebas mengatur waktunya sendiri,” jelas Lala.
Kunci dasar HS menurut Aar adalah desentralisasi. Jika sekolah formal itu bentukan negara, terstruktur daan ada standarisasi, maka HS kebalikannya sehingga tidak ada yang namanya standar. “Penempatan keluarga sebagai sentral dalam pendidikan sehingga nilai ideal adalah menurut keluarga itu,” jelas Aar. Ia kemudian mengibaratkan seperti memulai dari kertas yang kosong dan mulai mengisi kertas tersebut dengan apa yang menurutnya ideal. Dalam proses “mengisi kertas” itulah orangtua pelaku HS wajib mencari berbagai instrumen untuk menjalankannya.
Namun seiring perkembangannya, rumah dan orangtua ternyata bukan menjadi definisi tunggal dari unsur HS di Indonesia. Tokoh pendidikan anak Seto Mulyadi misalnya mendirikan lembaga Home Schooling Kak Seto (HSKS). Ada pula lembaga kursus seperti Primagama yang mendirikan Homeschooling Primagama.
Menurut Operational manager HSKS Dimas Ramdhani, pengertian HS itu terbagi atas tunggal, majemuk dan komunitas. Majemuk adalah jika ada beberapa keluarga yang melakukan HS bersama. Sementara komunitas sudah masuk ke non formal yang berarti sudah ada lembaga, dan tempat, layaknya HSKS. Sementara Direktur HSKS Budihardjo memperjelas posisi lembaganya bahwa pengertian HS sebenarnya seperti sekolah biasa. Tetapi kalau sekolah biasa itu formal, maka ini adalah non formal. Sementara HS tunggal adalah masuk ke informal.
Tujuannya berdirinya lembaga ini relatif sama dengan para pelaku HS tunggal. Materi pendidikaan di sekolah formal menurut Budiharjo terlalu mengada-ada. Materi terlalu berjejal, padahal otak siswa tidak sanggup untuk menerima itu. “Sementara banyak orangtua yang berpikir bahwa HS tidak diakui pemerintah, maka berdirinya HS semacam ini merupakan jawaban,” ungkapnya.
Berdiri dengan label homeschooling, HSKS lanjut Budihardjo menawarkan sekolah yang bersifatnya homey, dengan hari dan jam masuk yang lebih ringkas, hingga pendekatan personal kepada murid untuk mencegah agar para tutor yang mengajar tidak menjadi layaknya guru di sekolah. “Di sini semua tutor dipanggil dengan ‘kakak’,” sambung Dimas.
Di samping sistem pendidikan di lembaga, HSKS juga mempunyai program distance learning dengan mendatangkan tutor di rumah. Hal ini menurut Budihardjo adalah jalan keluar bagi atlet atau artis misalnya yang sulit untuk datang ke sekolah dan waktu belajarnya kerap berubah. “Solusi juga untuk anak yang sakit, misalnya yang menderita epilepsi sehingga orangtua khawatir jika harus sekolah formal,” ungkapnya.
Namun tidak semua orang sreg dengan perkembangan ini. Aar mengaku adanya “lembaga” sebagai hal yang aneh, karena menyimpang dari gagasan awal tentang HS. Menurut Aar, jika ditelusuri dari sejarah mana pun, HS merupakan pendidikan berbasis keluarga yang dibedakan dari institusi sekolah yang mempunyai lembaga. “HS adalah keluarga yang memilih mendidik sendiri anak-anaknya untuk menggantikan sekolah,” tegas Aar. Ia lantas mencontohkan di Inggris terdapat sekolah berjenis flexi school, sebuah kategori “tengah”, di antara sekolah formal dan HS. Namun sekolah atau lembaga yang lebih fleksibel ini menurut Aar tidak menyebutkan dirinya sebagai HS.
Praktisi pendidikan Lody Paat melihat perkembangan bahwa HS seperti mau memasuki wilayah pendidikan nonformal. Padahal menurutnya HS jangan “lari” dari pendidikan informal, yang berarti berbasis keluarga. Ini yang membuat definisi HS di Indonesia menjadi membingungkan. “Bahkan saya persoalkan HS yang memanggil guru les. Ini maksudnya apa? Apa bedanya dengan anak yang sekolah formal dan kemudian memanggil guru les?” jelas Lody.
Namun Budihardjo beranggapan bahwa sebenarnya tidak ada masalah dengan definisi HS mana yang sebenarnya paling ideal. Menurutnya tidak perlu mempertajam definisi karena hal ini justru bisa menghambat hak anak untuk belajar. Dimas sendiri menyinggung bahwa HS tunggal juga punya keterbatasan, termasuk masalah sosialisasi dan kurikulum. “Ada mungkin orangtua yang tidak bisa mengajar anaknya di rumah. Sehingga akhirnya berkembang pula yang komunitas,” ungkapnya.
Aar sendiri tidak menafikan bahwa bermunculannya lembaga berlabel HS tidak terlepas adanya kebutuhan dari masyarakat. Orangtua yang tidak puas dengan sekolah fomal, atau dengan berbagai alasan misalnya bullying, atau artis dengan alasan kesibukan. “Market-nya ada dan nyata. Secara komersial nama HS itu bagus karena menunjukkan kepedulian orangtua kepada keluarga, which is ‘seksi’ di zaman modern saat ini,” jelasnya.
Lody mencium hal yang kurang lebih sama. Ia khawatir perkembangan HS di Indonesia itu lebih kepada kebutuhan orangtua, bukan kebutuhan anak, seraya melihat bahwa pelaku HS itu umumnya adalah kelompok sosial menengah. “Ini kelompok menengah yang ‘genit’, mereka ingin terlihat berbeda,” ungkap dosen Universitas Negeri Jakarta yang sudah 26 tahun mengajar ini.
Lody lantas menekankan pentingnya melihat HS berdasarkan rujukan konsep tradisional. Menurutnya di negara asal HS seperti Amerika Serikat, metode pendidikan ini dilakukan oleh orang-orang fundamentalis. Orangtua yang merasa tidak aman anaknya didik di sekolah umum yang tidak ada pendidikan agama. Maka orang-orang “beragama” membuat HS dengan orangtua sebagai pendidiknya sendiri. “Setahu saya (pelakunya) orangtua yang memang punya pengetahuan banyak. Bahkan yang pernah saya lihat, mereka bisa mengajarkan musik (ke anak),” ungkapnya. Di Indonesia lanjut Lody, menurut catatan sejarah yang melakukan HS antara lain Haji Agus Salim. Dan itu dilakukan karena ada ideologi yang jelas, untuk melawan pendidikan yang diberikan oleh Belanda dan penjajah.
Maka tanpa melihat HS tunggal, komunitas atau majemuk, Lody melihat pelaku HS secara ideal harus mempunyai dasar ideologis dan teori yang berbeda. Lody menyatakan memasukkan HS sebagai kerangka alternatif, sehingga HS harus berbeda betul dengan sekolah umum. Kalau sekadar cara yang sedikit berbeda, misalnya dengan child center, menurut Lody sekarang sudah banyak sekolah yang menggunakan pendekatan itu. “Sehingga kalau mau melakukan HS, tunjukkan bahwa benar-benar sebuah pendidikan alternatif,” tegasnya. (teks: ramzy hasibuan & dicky zulkarnain)
Sumber: Esquire Indonesia, Edisi 65, Juli 2012
1 thought on “Esquire: Homeschooling Makhluk Seksi Pendidikan”
Betul, primagama, kak seto, salah mendefinisikan homeschooling. namanya juga homeschooling kok siswa belajarnya di lembaga. kalau gitu nggak jauh beda sama bimbel tapi punya kurikulum tersendiri. home nya mana? harusnya homeschooling itu hanya mengadakan program distance learning. tapi mungkin mikir juga, kalau cuma ngadain program distance learning profitnya nggak maksimal. gitu kali yaa…