fbpx

Dilema Mendidik Generasi Digital

Mendidik anak-anak digital membutuhkan penanganan yang unik. Itu pengalaman yang dialami keluarga kami.

Pada satu sisi, ekspose anak-anak pada dunia digital (komputer, gadget, Internet) membuat mereka menjadi lebih cepat berkembang. Wawasan, pengetahuan, dan keterampilan mereka cepat sekali berkembang sejak dini.

Tapi pada saat bersamaan, ada dampak sampingan dari ekspose pada dunia digital yang berlangsung sangat intens ini. Porsi waktu yang sangat banyak di depan komputer dan gadget ternyata menimbulkan beberapa dampak sampingan yang tak diinginkan.

Dilema mendidik anak-anak digital adalah mengelola seberapa besar porsi digital yang sehat untuk pertumbuhan mereka.

Dampak sampingan digital yang paling mengganggu bagi kami adalah ketergantungan mental pada gadget dan rentang fokus yang menurun. Kebahagiaan dan kemampuan anak berkarya menjadi sangat tergantung pada komputer dan gadget. Begitu tak ada komputer dan gadget, mood mereka turun dan mereka seolah-olah “mati gaya” alias tak mampu berkarya. Juga, mereka menjadi kurang terbuka perhatiannya pada hal-hal lain di luar dunia digital.

Untuk mengurangi dampak buruk ini, sesekali kami melakukan proses unwiring, puasa digital. Puasa digital bagi kami berfungsi seperti detox, membuang dampak sampingan dari dunia digital. Biasanya puasa digital ini kami lakukan ketika kami melihat simptoms meningkatnya ketergantungan pada komputer/gadget.

Atau, ada momentum untuk melakukan puasa digital seperti yang terjadi baru-baru ini pada Yudhis.

Kejadiannya sekitar 2 minggu yang lalu, ketika komputer Yudhis rusak. Kami berencana membawa komputer itu untuk diservis. Tapi Lala punya ide untuk menjadikannya sebagai momentum untuk puasa digital.

Setelah berdiskusi dengan Yudhis, akhirnya kami sepakat untuk memperbaiki komputer setelah Yudhis selesai menyiangi rumput di tanah sebelah rumah, yang biasa digunakan untuk kegiatan Klub Oase. Ide menyiangi rumput itu datang sendiri dari Yudhis, yang langsung kami sambut dengan suka cita.

SiangiRumput

Unwired Session

Pekerjaan menyiangi rumput itu tak mudah. Bukan hanya karena Yudhis tak pernah melakukannya, tetapi rumput dan alang-alangnya sudah tinggi dan tanahnya lumayan luas, sekitar 400 m2.

Momen ini kemudian kami jadikan sarana untuk kegiatan bersama. Kami merancang kegiatan bersama karena kami tak ingin Yudhis memandang kegiatan menyiangi rumput ini sebagai hukuman.

Kegiatan menyiangi rumput adalah bentuk lain proses belajarnya dan kami akan mendampinginya selama dalam proses ini. Bukan hanya hadir, tetapi kami akan bekerja bersama-sama. Pendampingan merupakan penting untuk memastikan prosesnya mulus dan berlangsung dengan menyenangkan.

Melakukan Kegiatan Bersama

Hal pertama yang kami lakukan adalah menyediakan alat kerja. Karena hanya ada 1 sabit di rumah, kami memutuskan untuk membeli 2 sabit lagi supaya kami bisa bekerja bersama-sama.

Awalnya proses ini berlangsung berat. Yudhis bekerja, tetapi dengan ogah-ogahan. Pelan-pelan kami mengajarinya menyabit rumput. Kami juga menemaninya dengan terus mengobrol bersama selama dia bekerja. Semuanya hadir dan berkegiatan bersama, termasuk Tata, Duta, dan Eyang Putri.

Bukan hanya menemani Yudhis mengobrol, kami menemaninya bekerja menyiangi rumput. Kami bekerja bersama-sama membabat rumput untuk membuatnya merasa nyaman dan tidak merasa sendirian/dihukum.

Untuk membuat suasana lebih menyenangkan, kami mengawali proses membabat rumput dengan bentuk melingkar supaya menjadi jalan yang bisa digunakan Eyang Putri untuk berjalan-jalan. Jadilah jogging track yang kemudian digunakan Eyang Putri untuk jalan pagi setiap hari.

Membangun Konsistensi

Tanpa terasa, proses ini sudah berlangsung hampir 2 minggu. Rumput sudah hampir terpangkas habis.

Setiap hari, Yudhis menyiangi rumput bersamaku, pagi dan sore. Kami mengerjakan proses ini bersama-sama. Sambil bekerja, kami mengisi momen ini untuk mengobrol tentang bermacam-macam hal.

Salah satu hal yang kami lakukan bersama adalah membagi tanah dalam petak-petak kecil. Ini adalah ilmu membagi pekerjaan besar menjadi pekerjaan-pekerjaan kecil yang lebih mudah dikerjakan. Dengan proses ini, pekerjaan menjadi terasa lebih ringan dan ada pencapaian-pencapaian kecil yang dirasakan setiap hari.

***

Kami tak tahu pelajaran apa yang diserap Yudhis dari proses ini. Yang kami lihat secara kasat mata, Yudhis makin lama makin bisa menikmati kegiatan menyiangi rumput. Dia tak masalah untuk berkegiatan tanpa komputer selama hampir 2 minggu. Hari-harinya juga berlangsung relatif mulus.

Mudah-mudahan tarik-ulur dunia digital dan fisik ini dapat membuat hidupnya lebih kaya pengalaman dan lebih seimbang.

4 thoughts on “Dilema Mendidik Generasi Digital”

  1. Inilah dia salah satu hal yang mejadi tantangan para orang tua dan pengajar di zaman sekarang. Kita kini harus berhadapan dengan teknologi digital. Dan anak-anak sudah sangat terbiasa dengan itu sejak mereka kecil. Ada baik dan buruknya memang, ya tinggal kita menyikapinya aja.

    Menurut saya ada bagsunya coba buat aturan di rumah, seperti: “Jam tidak boleh memekai hanphone” dll. Misal saat makan, saat belajar, dll biar ada disiplin aja 😉

  2. pd awalnya ada kesulitan jk tdk ada aturan, ketika games bukan jd tujuan tp pembelajaran, maka akan didapat hal lain yg lbh bermanfaat. putri kami menemukan kegemarannya membuat poster film secara otodidak, hingga membuatnya kini bisa mendisain dan menerima pesanan. mungkin hal yg paling penting ditekankan adalah apa yg ingin dicari dan manfaat apa yg ingin di dapat. walau untuk putra kami, kami masih berjuang meyakinkan ini krn smp saat ini dia msh menikmati games bukan yg lain.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.